Blog Update

Hari itu, William Hillman Shockley dan istrinya May mungkin kecewa karena anak mereka William Bradford Shockley dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi bagian penelitian salah satu psikolog terkemuka Lewis Madison Terman. Tahun itu, 1921 Lewis Terman, seorang psikolog terkemuka dari Stanford Graduate School of Education, menyeleksi anak-anak jenius seantero California untuk proyek penelitian jangka panjang yang diberi tema Genetic Studies of Genius.
Hal senada juga dialami keluarga dokter Walter C Alvares dan istrinya Harriet née Smyth. Mereka juga harus menerima bahwa anak mereka Luis Walter Alvares tidak sejenius yang mereka kira. Kedua keluarga tersebut bersama banyak keluarga lainnya terpaksa menelan harapan bahwa anak-anak mereka menjadi salah satu anak yang nanti akan tertulis dalam sejarah manusia karena mampu mengubah dunia.
Nyatanya, 35 tahun kemudian, kenyataan berbalik. Terman dan tim harus mendapati kenyataan pahit, bahwa anak yang dahulu dianggap tidak layak masuk dalam jajaran bocah jenius menurut alat ukurnya mendapatkan penghargaan Nobel di bidang fisika. Dialah William Bradford Shockley. Bersama dua koleganya John Bardeen dan Walter Brattain, William Shockley menyabet Nobel berkat temuan efek transistor.
Perasaan Spesial
Selain berhadapan dengan masalah infrastruktur, sistem zonasi juga harus berhadapan dengan rasa eksklusif orangtua akan anaknya. Banyak orangtua merasa sistem zonasi menghalangi anak-anak mereka mendapatkan sekolah terbaik. Zonasi secara tidak langsung menghapus label "favorit" pada sekolah. Bagaimana tidak, sekolah yang awalnya melakukan seleksi ketat dan menerapkan standar tinggi harus pasrah menerima siapapun yang berada pada zonasi mereka.
Momen masuk dan beralih jenjang pendidikan adalah momen penting bagi banyak orangtua yang merasa anak-anak mereka berbakat. Pada momen inilah orangtua sekali lagi menguji kepercayaan tersebut, menguji perasaan spesial sebagai orangtua. Sayangnya kesempatan tersebut telah dirampas zonasi.
Hal lain adalah kekhawatiran orangtua akan mandeknya potensi anak jika tidak mendapatkan fasilitas terbaik serta lingkungan (teman) sebanding. Akibatnya sudah bisa kita nikmati hari-hari ini, keriuhan yang selevel dengan keriuhan pilpres beberapa waktu lalu. Pertanyaannya adalah apakah sikap tersebut tepat?
Faktor Lingkungan
Hampir setiap orangtua berharap anaknya memiliki bakat tertentu, cerdas, dan juga jenius. Rencana dan usaha dijalankan sejak dalam kandungan dengan memberikan perlakuan terbaik dalam hal nutrisi dan menjaga stabilitas emosi ibu mengandung. Beberapa di antaranya merasa keberuntungan tersebut menghampiri mereka saat anak-anaknya mulai tumbuh dan menunjukkan kelebihan pada domain-domain tertentu. Banyak bertanya dan kecepatan menyerap informasi menjadi prediktor utamanya.
Bahkan beberapa orangtua terus menggali informasi yang mendukung keyakinan akan kecerdasan bawaan anaknya. Tes kecerdasan di psikolog juga ditempuh. Hasilnya bisa menggembirakan dan bisa saja sebaliknya. Pandangan umum mempercayai bahwa bakat diperoleh manusia sejak lahir. Definisi yang tidak sepenuhnya keliru.
Saya menyukai definisi Francoys Gagne yang menyatakan bakat (gifted)sebagai kemampuan alamiah yang bersifat potensial dalam salah satu di antara empat domain, yaitu intelektual, kreativitas, sosio-afektif, dan kinestetis-fisik. Apa bedanya dengan talenta (talend)? Talenta merupakan keterampilan yang telah dikembangkan dengan sangat baik. Itu artinya, semua anak bisa bertalenta tanpa memiliki bakat, namun bukan sebaliknya.
Kata kuncinya ada pada kata potensi. Gagne percaya akan kekuatan faktor lingkungan. Artinya menjadi cerdas alamiah saja tidak cukup; anak membutuhkan dukungan dan bimbingan untuk mencapai potensi bakatnya. Sayangnya, mendukung dan memberikan dorongan anak-anak berbakat seringkali menjadi ajang konflik antara keluarga dan sekolah.
Kekhawatiran Semata?
Sebagai ekspresi emosi, marah bahkan sedih (terhadap penerapan sistem zonasi sekolah) adalah hal lumrah. Namun, akan menjadi tidak lumrah jika kita menganggap hal tersebut sebagai akhir dari potensi anak-anak kita.
Profesor Anders Ericsson, psikolog terkemuka Florida State University mengingatkan dalam buku Peak: Secrets from New Science of Expertisebahwa bakat yang sifatnya unik dan bawaan bukanlah penentu kinerja seseorang. Buku tersebut memberikan perspektif lain terkait bagaimana seseorang mengembangkan talenta terbaik.
Kata kunci untuk menjadi seorang ahli adalah latihan yang disengaja. Menurutnya, latihan terstruktur sekitar 10.000 jam adalah cara yang jelas terbukti mengantarkan seseorang menjadi ahli dalam bidangnya. Ide untuk menulis tentang latihan terstruktur ia dapatkan dari suatu insiden di sekolah sewaktu kecil. Saat itu ia tertegun saat dihajar telak dalam pertandingan catur melawan seorang temannya yang sebelumnya selalu ia kalahkan. Itulah mengapa ia mengajak rekannya Robert Pool melakukan penelitian panjang sejak 1980 dan menulis buku tersebut.
Selain latihan terstruktur, kita juga bisa mempelajari pesan Benjamin Bloom, ahli pendidikan terkemuka Amerika. Bersama timnya, Bloom bekerja keras mempelajari orang-orang berprestasi dalam berbagai bidang pada 1980-an menemukan bahwa keluarga pada hakikatnya sangat penting bagi setiap ahli. Mereka menemukan semacam pola dukungan orangtua saat mendorong anak-anak mereka pada ranah yang disukai anak. Orang-orang berprestasi selalu memiliki dukungan yang kuat dan konsisten dari orangtua (atau orang terdekat pengganti orangtua) saat mengembangkan kompetensi mereka, terutama memberikan asupan untuk rasa ingin tahu anak.
Pola tersebut menurut Bloom dapat diduplikasi oleh setiap orangtua yang menginginkan anak-anak mereka sukses kelak. Sayangnya kita lebih suka meributkan hal-hal berdasarkan kekhawatiran kita semata. Jangan-jangan kita memang merasa eksklusif, merasa memiliki hak lebih dari saudara-saudara kita yang lain. Sehingga kita seringkali emosional dan reaktif atas apapun yang menurut kita kurang tepat.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada pertanyaan reflektif, apakah sistem zonasi sedemikian rupa merebut perasaan ingin tahu anak-anak kita? Apakah juga dengan berkumpul dengan teman (yang dianggap tidak sebanding) otomatis mengajarkan anak-anak kita untuk tidak bekerja keras dan berhenti berlatih? Apakah juga lokasi menentukan komitmen kita sebagai orangtua untuk mendukung anak-anak kita secara konsisten? Sumber Detik.com
Blog Populer
- Moment Memperkenalkan Makanan Tradisional di Kegiatan Pengenalan Kampus
- Bahasa, Sang Pemersatu Sekaligus Media Pemecah Belah
- Pancasila dan Degradasi Berbahasa Indonesia
- 3 Pertimbangan Pemerintah Tambah 2 Hari Cuti Bersama Hari Raya Iduladha
- Adi Sumaryadi : Roleplay Berbahaya untuk Anak, Pengawasan Orang Tua Menjadi Kunci